Senin, 28 Desember 2009

MENGAPA PELAJARAN SENI ADA DI SEKOLAH

Sepanjang sejarah perkembangan pendidikan seni berubah-ubah nama dan tujuannya. Dalam penyelenggaraan pendidikan seni hendaknya dikaitkan dengan keperluan siswa, kebudayaan yang membesarkannya, dan lingkungan sekolah. Dengan sendirinya bahan yang diberikan tidak mungkin sama di setiap daerah karena indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dengan adat istiadat dan kesenian yang berlainan.
Proses pengajaran pendidikan seni menuntut persiapan dan perhatian yang barangkali lebih banyak karena tidak ditunjang buku pegangan yang lengkap disebabkan oleh sifat mata pelajaran seni yang harus lentur sebagai kegiatan kreatif yang menuntut kelenturan. Ketidak lengkapan itu disengaja karena pelaksanaan pendidikan seni dikaitkan dengan keperluan siswa, kebudayaan, dan lingkungan sekolah.
Di Eropa pada akhir abad 19 pelajaran menggambar pertama kali dimasukkan di sekolah dengan tujuan hendak memperbaiki mutu barang hasil produksi pabrik.
Di Indonesia pada awal abad 20 lewat pemerintah Belanda mata pelajaran menggambar masuk dalam pendidikan umum dengan tujuan pandai menggambar untuk bersenang-senang dalam mengisi waktu luang. Dalam tahun 30-an menggambar mistar dimasukkan dalam pelajaran menggambar dengan tujuan untuk memperbaiki mutu kerajinan tangan sebagai usaha memperbaiki kehidupan rakyat.
Dalam tahun 60-an masuk pikiran baru yang memandang pendidikan seni rupa sebagai sarana bagi anak untuk mengungkap pikiran dan perasaan dengan bebas. Pelajaran menggambar banyak diarahkan pada menggambar ekspresi yaitu menggambar yang lebih mengutamakan ungkapan perasaan dan pikiran daripada ketepatan bentuk. Hal tersebut banyak menyangkut pendidikan seni rupa di TK, SD, SMP dan sekolah menengah tinkat pendidikan seni rupa diarahkan untuk mempersiapkan siswa yang hendak melanjutkan di perguruan tinggi. Namun sejak tahun 1969 arah itu berubah. Di dalam kurikulum tahun 1975 tercantum pendidikan seni rupa sebagai berikut.
1. Siswa memiliki pengetahuan dan pengertian yang cukup memadai tentang kesenian, untuk dapat mengembangkan pengetahuan dan pengertian dikemudian hari.
2. Siswa dapat menikmati, mengagumi, dan mempinyai apresiasi serta orientasi tentang karya seni indonesia dan mancanegara.
3. Siswa memiliki ketrampilan yang cukup memadai dalam bidang kesenian sehingga dapat
menjadi bekal dalam kehidupannya dikemudian hari.
Tujuan itu kemudian disederhanakan dalam kurikulum SMA tahun 1984 sebagai berikut.
Siswa memiliki kemampuan berapresiasi terhadap alam lingkungan dan karya seni serta dapat memanfaatkan pengalamannya untuk berkomunikasi secara kreatif melalui kegiatan berkarya seni dalam usaha mengembangkan dan menjunjung tingginilai-nilai budaya bangsa.
Tujuan tersebut dapat disimpulkan menjadi dua perkarara yaitu :
1. Siswa mampu menikmati karya seni dan alam lingkungan yang nantinya siswa dapat melestari
kannya
2. Siswa mengungkapkan pengalamannya melalui kegiatan berkarya seni, yang berarti turut me
ngembangkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya bangsa.
Perlu diingat pendidikan seni tidak dimaksudkan untuk menggiring siswa ke dunia seni, apalagi membuat mereka jadi seniman. Dan seandainya pelajaran seni hanya melatih siswa agar terampil menggambar, sejauh manakah ketrampilan itu diperlukan oleh siswa dalam kehidupannya kelak dalam bermasyarakat. Jika hanya beberapa siswa yang diuntungkan dengan pelajaran tersebut karena bakat atau hobi, tidakkah pelajaran tersebut sebaiknya dikeluarkan dari sekolah.
Kajian yang berlangsung secara berkesinambungan dari zaman ke zaman sampai pada kesimpulan bahwa kegiatan berolah seni memiliki sifat yang bermanfaat bagi perkembangan jiwa anak dan diperkuat oleh Viktor Lowenfeld merupakan seorang pendidik, seniman, dan psikiater guru besar di Universitas Pensylvania Amerika Serikat menyatakan bahwa kegiatan seni menunjang pertumbuhan anak sebagai berikut :
1. pertumbuhan pikiran,
2. pertumbuhan emosi,
3. pertumbuhan sosial,
4. pertumbuhan pencerapan,
5. pertumbuhan jasmani,
6. pertumbuhan rasa seni, dan
7. pertumbuhan daya cipta.
Pandangan Lowenfeld itu dituangkan dalam bukunya yang berjudul Creative and Mental Growth. Sejak itu pelajaran menggambar semankin besar penekanannya pada segi kemanfaatannya bagi pendidikan siswa daripada melatih ketrampilan semata. Cakupannya diperluas meliputi kegiatan seni rupa bukan kegiatan menggambar saja dan namanya diganti menjadi pendidikan seni rupa.
Tulisan ini penulis ambil dari
Buku Guru Sekolah Menengah Atas judul Pendidikan Seni Rupa oleh Adjat Sakri yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1990.
Dengan pengertian tersebut diatas dapat menjadi acuan dalam memberikan pengalaman belajar pada anak didik semata-mata sebagai upaya mengaktifkan daya kerja peran otak kanan dan otak kiri agar tercapai keseimbangan.

Dari pengalaman praktek ngajar th 1986 dan th 1987 mulai ngajar di SMA jam pelajaran yang tersedia waktu itu kelas satu 3 jam pelajaran dan kelas kelas dua 2 jam dalam 1 minggunya dan kemudian berubah menjadi 2 jam dalam satu minggu dan hanya untuk kelas satu saja.
Sedangkan mulai mulai th 2004 pendidikan seni berubah nama menjadi seni budaya yang tiap kelasnya mendapat porsi yang sama yaitu 2 jam pelajaran dalam satu minggunya. Kurikulumnya berbentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran ( KTSP ).